Dear Life,
Suatu hari di sore Jakarta yang kelam, seorang anak kecil berjalan kaki sepulangnya dari sekolah. Ia melihat ke langit yang dipenuhi awan hitam yang berusaha membendung bulir-bulir hujan dari tanah Jakarta yang kering dan berdebu. Anak itu berjalan dengan langkah berat, seolah-olah enggan untuk segera disapa oleh kenyamanan rumahnya yang sudah terlihat di kejauhan. Pikirannya menerawang ke kejadian beberapa minggu yang lalu...
Ketika itu langit senja sudah berubah menjadi malam dan kesunyian merebak bersama dengan udara panas Jakarta yang meresap melalui jendela kamarnya. Jam tangannya sudah menunjukan pukul sembilan malam yang menandakan sudah saatnya ia untuk tidur nyenyak sambil memimpikan tentang sekolahnya di esok hari, namun dengan sembunyi-sembunyi ia terus bangun untuk membaca sebuah novel hadiah dari pamannya. Beruntung kedua orangtuanya belum pulang dari kantor, suatu hal yang sebenarnya di luar kebiasaan keluarga itu. Mereka berdua selalu berusaha agar salah satu dari mereka bisa menemani dan mengawasi sang anak kecil selepas terbenamnya matahari. Namun si anak kecil tidak menyadari kejanggalan tersebut dan tetap terbenam dalam kesenangannya membaca.
Tiba-tiba terdengar suara mobil menderu-deru dan berhenti mendadak di depan rumahnya. Anak itu mengenali suara mobil tersebut sebagai suara mobil ayahnya dan dengan segera ia mematikan lampu kamarnya dan berpura-pura tertidur. Matanya terpejam namun telinganya masih awas memperhatikan gerak-gerik ayah dan ibunya saat mereka hendak memasuki rumah. Tanpa ia duga sama sekali, terdengar suara gebrakan pintu yang sangat keras yang membuat anak itu terkejut mendengarnya. Apa yang ia dengar selanjutnya adalah awal dari hilangnya keindahan masa kecil yang tidak akan pernah ia lupakan selama ia hidup. Ayahnya berteriak memaki-maki ibunya, menyumpah serapah dengan kata-kata yang tidak pernah anak kecil itu bayangkan bisa keluar dari mulut ayah yang menyayanginya. Hal itu saja sudah cukup untuk membuatnya ketakutan, namun hatinya yang masih galau dan bertanya-tanya hancur ketika ia mendengar jeritan tangis memilukan dari ibunya. Ia menangis menjerit sunyi dalam kesedihan yang ia belum pernah rasakan dalam hidupnya yang masih singkat itu, melanggar aturan yang ditanamkan ayahnya bahwa seorang laki-laki tidak boleh menangis. Pikirannya berkecamuk di tengah suara pecahnya piring-piring, ingin rasanya ia meneriakan satu kata yang hingga kini masih ia teriakan dalam mimpi-mimpinya yang terburuk… Dan kata tersebut adalah Mengapa?! Namun tidak ada suara yang keluar dari mulut mungilnya… Ia pun kehilangan kesadarannya…
Tetesan air hujan yang dengan lembut menyapa rambutnya menyadarkan anak itu dari lamunan hati. Sapaan lembut itu segera berubah menjadi terpaan deras dan membuatnya berlari-lari kecil menuju rumah. Dari kejauhan ia melihat mobil sang ayah telah tiba di rumah dan hatinya dipenuhi kekecewaan. Ia dengan sengaja menghabiskan waktunya di sekolah dan menolak ajakan pulang teman-temannya. Ia ingin lari dari keadaan keluarganya yang kini dipenuhi cercaan dan teriakan pada setiap malam. Kini baginya sekolah menyediakan pegangan penuh kenangan pada masa-masa dimana keluarganya masih baik-baik saja. Namun anak kecil tersebut kehilangan keceriaan yang biasa ia miliki, dan hal itu membuatnya terasingkan dari teman-teman sekolah yang belum bisa memahami perubahan yang terjadi pada dirinya. Tanpa rasa pengertian yang belum tertanam pada hati mereka yang masih belia, perlahan-lahan mereka menjauh dan enggan mengajaknya untuk ikut bermain. Ingin rasanya anak kecil itu bertanya: mengapa kalian menjauhiku juga, namun ia sudah terlalu lelah untuk mencari jawaban setelah tidak menemukan jawaban sama sekali dari keluarganya sendiri. Ia menjadi pendiam, dan menemukan pelarian di antara rak-rak buku perpustakaan sekolah. Karena hanya di sudut-sudut penuh debu itulah ia bisa mengeluarkan jeritan hati sepuasnya tanpa ada yang akan bertanya alasan dibalik tangis pilunya. Namun bahkan pada saat-saat penuh emosi itu, tangisnya tetap tidak bersuara…
Kini ia telah sampai di pintu gerbang rumah dan ia bisa melihat bahwa pintu rumah terbuka lebar. Anak itu menyadari bahwa itu merupakan tanda kedua orangtuanya sedang menerima tamu, dan untuk sesaat rasa keingintahuan dalam dirinya melonjak ketika menebak-nebak siapakah tamu yang datang tersebut. Untuk sesaat, hatinya meluap dengan pengharapan ketika membayangkan bahwa tamu tersebut adalah teman sang ayah yang datang beberapa waktu lalu ketika keadaan keluarganya masih penuh dengan keceriaan. Paman tersebut seringkali berbaik hati untuk membawakan buku-buku bacaan kesukaan si anak kecil setiap kali ia datang, dan ia berharap bahwa setidaknya untuk malam ini ia bisa berpura-pura bahwa tidak ada yang salah dari keadaan keluarganya dan menenggelamkan diri pada petualangan-petualangan baru.
Namun ketika ia memasuki ruang tamu, ia bisa merasakan suasana tegang yang meliputi semua orang di ruang tersebut. Ia melihat seorang tante dengan usia tidak jauh berbeda dari sang ibu sedang terdiam di ruang tamu berserta kedua orangtuanya. Mereka semua menoleh ketika ia memasuki ruang tamu, dan ia bisa merasakan suatu kesedihan terpendam ketika ia melihat mata sang ibu yang gelap dan dalam. Ibunya lalu berkata dengan suara lemah dan senyum tipis bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengannya dan orang itu sedang menunggu di kamar si anak kecil. Anak kecil tersebut melirik ke arah ayahnya, berusaha mencari jawaban atas kebingungan yang tiba-tiba menyergap, hanya saja sepasang mata coklat tersebut hanya bisa menghindar tanpa memberi jawaban. Anak kecil itu hanya bisa mengangguk menjawab suruhan ibunya sambil berjalan dengan tergesa-gesa ke arah kamar, ia ingin segera pergi dari suasana tegang yang tidak nyaman tersebut. Dengan perlahan ia membuka pintu kamar, entah kenapa ia merasa takut untuk mengetahui siapa orang yang sedang menunggu dirinya itu. Diterangi cahaya senja lampu meja belajar, ia melihat seorang remaja laki-laki yang hanya lima tahun lebih tua darinya sedang berdiri sambil memandangi koleksi ensiklopedia yang tertata rapih di rak buku pada pojok kamar. Tangan mungilnya meraih saklar lampu kamar dan cahaya lembut menerangi kamar yang sedang temaram di tengah mendungnya langit Jakarta. Tindakannya itu mengagetkan remaja laki-laki yang akhirnya menyadari kehadiran si anak kecil. Ia menoleh dan menyapa dengan suara yang terdengar lembut, namun entah kenapa anak kecil tersebut bisa merasakan kepedihan mendalam terpancar dari kedua mata sang remaja. Kedua matanya terlihat sendu bagaikan tanah yang liat dibasahi rintik hujan di depan rumahnya. Sang remaja memperkenalkan diri sebagai anak dari tante yang anak kecil tersebut lihat di ruang tamu. Kebingungan yang teramat sangat terasa memuncak di hati anak kecil itu. Perasaan itu memberitahukan hatinya yang masih polos tanpa praduga sama sekali bahwa ada sesuatu yang akan segera mengubah hidupnya. Dengan dihantui perasaan itu, suasana berlangsung dengan kaku sampai akhirnya ibu dari remaja tersebut mengajaknya untuk pulang. Sambil mengucapkan salam perpisahan, remaja itu bersalaman dengan si anak kecil. Tangan si remaja terasa tanpa tenaga menjabat genggaman si anak kecil, bagaikan tangan seseorang yang terlalu lelah menghadapi ketidakadilan hidup. Tak lama setelah ayahnya berangkat untuk mengantarkan keluarga itu pulang, sang ibu masuk ke kamar tidur si anak kecil. Ia hanya bisa termangu ketika ibunya tiba-tiba memeluk dengan erat sambil menangis tersedu-sedu…
Saat itulah, dari bisikan sang ibu di antara senggukan tangis yang berderai tak tertahankan, sang anak kecil mengetahui bahwa ia baru saja bertemu dengan kakak tirinya…